TUGAS SEMINAR PERORANGAN OLEH HERIANDI STMT-L TRISAKTI ANGK 11

NAMA : HERIANDI

NIM     : 244308055

KEROPOSNYA TRANSPOTASI LAUT

 

MUSIBAH KMP Levina I semakin menguak betapa keroposnya sistem transportasi laut kita. Penyakit kronis terjadi hampir diseluruh lini entitas pelayaran nasional. Dari masalah kuantitas armada yang jauh dari kebutuhan, kondisi “gegar” regulasi, masalah teknis kelaikan, rusaknya budaya kerja birokrasi pelabuhan hingga masalah profesi dan kompetensi SDM pelayaran di Indonesia, semuanya terakumulasi menjadi black holes yang bisa mengancam kelangsungan hidup bangsa. Semua masalah diatas semakin hari bertambah parah karena belum adanya visi dan kebijakan nasional yang tangguh untuk membenahi sistem transportasi laut. Rakyat sangat membutuhkan sarana transportasi laut yang murah dan mudah. Hingga saat ini pemerintah dalam hal ini BUMN bidang pelayaran, belum mampu mencukupi kebutuhan yang bisa melayani kepulauan di Indonesia. Di lain pihak, perusahaan
pelayaran swasta dibelit dengan berbagai masalah teknis dan manajemen dalam mengoperasikan kapalnya. Selain itu, belum ada insentif dari pemerintah untuk memperlancar usahanya. Yang ada justru semakin banyaknya prosedur birokrasi dan berbagai pungutan. Itulah sebabnya perusahaan pelayaran swasta selama ini sulit untuk mengembangkan usaha apalagi meningkatkan mutu pelayanan dan faktor keselamatan. Betapa sulitnya pihak perusahaan pelayaran swasta untuk melakukan overhaul atau perawatan kapal-kapalnya di dok atau galangan kapal milik BUMN. Karena sulitnya mendapatkan fasilitas kredit dan faktor-faktor lainnya. Akibatnya banyak armada yang sudah uzur namun masih tetap dioperasikan. Kasus terbakarnya Kapal Levina I juga melahirkan keganjilan, pasalnya baru saja kapal jenis RoRo ( Roll-on, Roll-off ) tersebut masuk dok atau galangan guna perbaikan dan perawatan berkala. Keganjilan itu juga menunjukkan adanya kegagalan BUMN di bidang pelayaran atau perkapalan dalam melakukan program maintenance repair dengan pihak operator kapal melalui pola Home Doctor Service (HDS). Optimalisasi dan kemampuan docking-days dari BUMN untuk melakukan docking kapal jenis RoRo dan jenis lainnya masih sangat rendah. Operasi muatan kapal Seperti diketahui bahwa kapal jenis RoRo adalah kapal yang didesain untuk muat bongkar barang ke kapal diatas kendaraan beroda. Kapal yang termasuk jenis RoRo antara lain kapal ferry, kapal pengangkut mobil (car ferries), kapal general cargo yang beroperasi sebagai kapal RoRo. Banyak tempat yang masih luang dalam kapal RoRo, namun hal itu sering menimbulkan persoalan tentang operasi muatan kapal. Operasi muatan kapal pada prinsipnya merupakan prosedur pemadatan muatan di kapal. Pemadatan muatan di kapal adalah inspeksi dan kegiatan untuk menyusun muatan di ruangan muatan kapal sedemikian rupa sehingga memenuhi syarat pemadatan yang baik (good stowage). Dalam arti muatan yang satu dengan yang lainnya tidak saling merusak akibat pemadatan yang salah, muatan terhindar dari cuaca dan tidak bergeser. Tidak mengganggu pembongkaran di masing-masing pelabuhan tujuan barang, serta memenuhi stabilitas kapal hingga kapal dapat berlayar dengan aman. Selain itu pentingnya Dunnage yaitu prosedur untuk melindungi muatan. Begitu juga mengenai pengangkutan muatan bahan berbahaya dalam kapal harus mengikuti ketentuan “International Maritime Dangerous Goods” (IMDG). Karena amburadulnya cara kerja petugas pemeriksa pelabuhan, prosedur operasi muatan dan dunnage selama ini sering diabaikan hingga membahayakan keselamatan pelayaran. Keputusan Menteri Perhubungan untuk mencabut ijin operasional dari perusahaan pelayaran yang mengoperasikan Kapal Levina I serta melarang kapal jenis RoRo untuk menjadi angkutan barang sekaligus penumpang merupakan keputusan yang kurang bijak tanpa pertimbangan teknis yang matang. Keputusan pemerintah itu semakin menyulitkan rakyat untuk memperoleh angkutan laut secara murah. Seharusnya, pelarangan dwifungsi kapal RoRo tidak perlu dilakukan jika ada prosedur dan disiplin yang baik. Mengingat banyak ruang kosong di kapal RoRo yang bisa digunakan sebagai tempat penumpang. Sungguh ironis, untuk menutupi buruknya sistem transportasi laut pemerintah dalam hal ini Departemen Perhubungan pagi-pagi buta sudah mencari kambing hitam. Pihak yang paling mudah dijadikan kambing hitam adalah petugas garis depan, yakni Nahkoda, ABK, dan Syahbandar. Itulah sebabnya aparat begitu cepatnya menetapkan nahkoda Kapal Levina I Andi Kurniawan sebagai tersangka utama. Begitu juga Syahbandar Pelabuhan Tanjung Priok Djoni Lantang dijadikan “tumbal” kebobrokan sistem transportasi laut. Padahal kebobrokan itu sekarang ini sudah menyangkut jajaran eselon diatasnya. Tanggung jawab berbagai kecelakaan transportasi laut sudah semestinya berada di pundak eselon satu keatas.

Kinerja Adpel

Indonesia merupakan Negeri Bahari yang terletak di jantung Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Luas laut Indonesia mencapai 75 persen dari luas wilayahnya. Berdasarkan Konvensi Hukum Laut 1982 (UNCLOS 1982), Indonesia mempunyai kedaulatan atas wilayah perairan 3,2 juta km persegi yang terdiri dari perairan kepulauan 2,9 juta km persegi, serta laut teritorial 0,3 juta km persegi. Kita juga punya hak berdaulat atas sumber daya laut perairan ZEE 2,7 juta km persegi. Ironisnya, berbagai potensi Negeri Bahari belum termanfaatkan dengan baik karena keroposnya sistem transportasi laut. Angkutan laut merupakan moda transportasi yang sarat dengan regulasi. Untuk itu, Indonesia harus meratifikasi berbagai konvensi yang dikeluarkan oleh The United Nations Convention on the Law of the Sea ( UNCLOS ) serta berkewajiban mentaati berbagai regulasi. Di United Nations ada badan khusus yang menangani bidang maritim, yakni International Maritime Organization (IMO), yang secara umum mengatur keamanan angkutan laut, pencegahan polusi serta persyaratan, pelatihan, dan pendidikan awak kapal. Dengan adanya IMO tiap negara anggota (flag state) mempunyai tanggung jawab untuk melakukan berbagai konvensi internasional bagi kapal-kapal yang mengibarkan bendera negaranya. Namun hingga saat ini kondisi kapal-kapal berbendera Indonesia masih banyak yang tidak mampu memenuhi ketentuan IMO, bahkan banyak terjadi pelanggaran regulasi. Keroposnya sistem transportasi laut antara lain disebabkan oleh seringnya terjadi manipulasi dan penyelewengan yang menyangkut pelaporan sistem manajemen keselamatan (safety management system). Padahal untuk menjaga keselamatan kapal dan lingkungan, diberlakukan sistem ISM Code yang disertai dengan Designated Person Ashore ( DPA ) untuk pengawasan kapal dan manajemen perusahaan secara periodik. Tujuan dari ISM Code adalah untuk memberikan standar internasional mengenai manajemen dan operasi kapal yang aman dan mencegah terjadinya pencemaran. Petugas Pemeriksa Kepelabuhanan ( PPK ) di berbagai kategori pelabuhan Indonesia, dalam hal ini Administratur Pelabuhan (Adpel) termasuk Syahbandar masih berkinerja dibawah standar. Mereka banyak yang belum optimal dalam menjalankan tugas dan wewenangnya sesuai dengan IMO Resolution A.787 (19). Yakni implementasi port state control yang menghindar kapal dalam keadaan tidak aman. Data statistik IMO telah menunjukkan bahwa 80 persen dari semua kecelakaan kapal di laut disebabkan oleh kesalahan manusia akibat buruknya sistem manajemen perusahaan pelayaran serta terpuruknya budaya kerja birokrat di pelabuhan. Dengan mata telanjang kita bisa melihat kinerja Administrasi Pelabuhan yang mana belum memiliki budaya kerja yang baik. Padahal, lembaga tersebut adalah ujung tombak sekaligus unit organik dibidang keselamatan pelayaran. 

Perumusan Masalah

A.    Identifikasi Permasalahan

  1. Masih bermasalahnya kuantitas armada KMP. Levina I
  2. SDM pelayaran di Indonesia yang masih belum profesional dalam profesinya.
  3. Adanya keganjilan atas kebakaran KMP. Levina I
  4. Kinerja petugas pemeriksa pelabuhan yang belum optimal.
  5. Tidak mengikuti prosedur operasi muatan.
  6.  Masih banyaknya kondisi kapal – kapal berbendera Indonesia yang tidak mampu memenuhi ketentuan IMO.
  7. Petugas Pemeriksa Kepelabuhanan ( PPK ) di berbagai kategori pelabuhan Indonesia, dalam hal ini Administratur Pelabuhan (Adpel) termasuk Syahbandar masih berkinerja dibawah standar.
  8. Buruknya sistem manajemen perusahaan pelayaran.
  9. Terpuruknya budaya kerja birokrat di pelabuhan.

 

B.     Pembatasan Masalah

     Pada permasalahan ini penulis membatasi pada armada KMP.Levina I dan kinerja awak kapal serta petugas pelabuhan yang berwenang untuk meningkatkan perawatan armada sebagai Sumber Daya perusahaan dan Sumber Daya Manusia yang profesional dalam menangani keselamatan pelayaran.

 

C.    Pokok Masalah

  1. Bagaimana kondisi kuantitas armada KMP. Levina I ?
  2. Bagaimanakah kondisi kinerja awak kapal KMP. Levina I dan petugas pelabuhanyang berwenang ?
  3. Apakah ada hubungan antara armada KMP. Levina I dan kinerja awak kapal serta petugas pelabuhan yang berwenang ?

Leave a comment